Gerontopilia adalah suatu
perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh cinta dan mencari
kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek atau
kakek-kakek). Gerontopilia termasuk dalam salah satu diagnosis gangguan
seksual, dari sekian banyak gangguan seksual seperti voyurisme, exhibisionisme,
sadisme, masochisme, pedopilia, brestilia, homoseksual, fetisisme,
frotteurisme, dan lain sebagainya. Keluhan awalnya adalah merasa impoten bila
menghadapi istri/suami sebagai pasangan hidupnya, karena merasa tidak tertarik
lagi. Semakin ia didesak oleh pasangannya maka ia semakin tidak berkutik,
bahkan menjadi cemas. Gairah seksualnya kepada pasangan yang sebenarnya justru
bisa bangkit lagi jika ia telah bertemu dengan idamannya (kakek/nenek).
Manusia itu diciptakan Tuhan sebagai makhkluk sempurna, sehingga
mampu mencintai dirinya (autoerotik), mencintai orang lain beda jenis
(heteroseksual) namun juga yang sejenis (homoseksual) bahkan dapat jatuh cinta
makhluk lain ataupun benda, sehingga kemungkinan terjadi perilaku menyimpang
dalam perilaku seksual amat banyak. Manusia walaupun diciptakanNya sempurna
namun ada keterbatasan, misalnya manusia itu satu-satunya makhluk yang mulut
dan hidungnya tidak mampu menyentuh genetalianya; seandainya dapat dilakukan
mungkin manusia sangat mencintai dirinya secara menyimpang pula. Hal itu sangat
berbeda dengan hewan, hampir semua hewan mampu mencium dan menjilat
genetalianya, kecuali Barnobus (sejenis Gorilla) yang sulit mencium
genetalianya. Barnobus satu-satunya jenis apes (monyet) yang bila bercinta
menatap muka pasangannya, sama dengan manusia. Hewanpun juga banyak yang
memiliki penyimpangan perilaku seksual seperti pada manusia, hanya saja mungkin
variasinya lebih sedikit, misalnya ada hewan yang homoseksual, sadisme, dan
sebagainya.
Kasus Gerontopilia mungkin jarang terdapat dalam masyarakat karena
umumnya si pelaku malu untuk berkonsultasi ke ahli, dan tidak jarang mereka
adalah anggota masyarakat biasa yang juga memiliki keluarga (anak &
istri/suami) serta dapat menjalankan tugas-tugas hidupnya secara normal bahkan
kadang-kadang mereka dikenal sebagai orang-orang yang berhasil/sukses dalam
karirnya. Meski jarang ditemukan, tidaklah berarti bahwa kasus tersebut tidak
ada dalam masyarakat Indonesia.
Contoh Kasus
Sumber www.elearning.unesa.ac.id/tag/contoh-kasus-psikologi (edisi
Rabu, 12 November 2008).
Sebut saja si pelaku berinisial "S". S mulai menceritakan
riwayat hidupnya sebagai seorang anak laki-laki yang ketika berumur 4 tahun
ayahnya meninggal dunia, dan selanjutnya ia diasuh oleh kakek dan neneknya.
Kehidupan masa kecilnya bersama nenek dan kakeknya cukup bahagia, S dapat
mengikuti pendidikan formal dengan baik. Setelah lulus SMA, S pindah ke kota
lain karena diterima di salah satu Fakultas Kedokteran Negeri di Sumatera dan
akhirnya berhasil menjadi seorang dokter. Ketika di SMA banyak waktu dihabiskan
untuk melakukan kegiatan-kegiatan di masjid atau surau seperti kawan-kawan
sebayanya di sana. Meski telah menjadi seorang dokter, ada kenangan yang sulit
dilupakan karena pada saat S banyak melakukan kegiatan di surau, ia memiliki
kenalan yang sangat akrab yaitu seorang kakek yang banyak memberikan perhatian,
bantuan, dorongan, kesenangan dan kepuasan bagi S sebagai seorang remaja. Pada
saat S kuliah di kota lain hubungan tetap terjalin, tiap malam minggu ia pulang
seperti remaja lain mengunjungi pacarnya. Namun pacar S ini lain dari yang lain
yaitu seorang kakek yang ubanan, bersih dan ganteng, katanya. Apa yang
dilakukan antara kakek dan remaja tersebut ternyata bercinta secara
homoseksual. Hal itu dilakukan cukup lama sejak SMA kelas I sampai S lulus
menjadi dokter, pada hal si kakek tersebut punya anak dan punya istri. Cara
bercintanya juga sangat rapi karena tidak ada yang tahu, baik pihak keluarga
kakek maupun keluarga S, termasuk kawan-kawan sebayanya. Rupanya apa yang
dilakukan kedua insan berbeda usia dan sejenis tersebut membahagiakan kedua
belah pihak, karena kedua belah pihak merasa sulit untuk berpisah. Untuk
menjaga kelestarian hubungan antara keduanya, kakek menawarkan kepada S agar
menikah dengan anak perempuannya bernama (K). S sudah cukup kenal dengan K
walaupun merasa tidak cinta, seperti cintanya terhadap ayah K. Namun akhirnya S
nikah dengan K karena ada udang dibalik batu agar tetap dekat dengan ayah K.
Dalam kehidupan sebagai suami istri S menjalaninya biasa-biasa saja, namun
hubungan dengan kakek juga tetap dijalankan, bahkan merasa lebih bebas karena
satu rumah. Kadang-kadang ia bermesraan sama kakek yang sekarang adalah mertua,
namun kadang-kadang bermesraan sama K sebagai istri. Dalam bathin S sering
timbul perasaan bahwa cintanya terhadap istri cukup sebagai simbol status
sosial, karena secara umum hal itu merupakan suatu yang wajar bahwa laki-laki
berpasangan dengan wanita. Namun disisi lain S merasa sangat mencintai kakek
dan merasa lebih bergairah dalam bercinta. Bahkan S merasa terangsang dengan
istri bila habis bermesraan dengan kakek, entah bagaimana caranya. Keadaan
itulah yang terus terbawa sampai saat ini. S merasa bergairah dengan istrinya
apabila habis bercinta dengan si kakek.
Kehidupan memang tidak pernah akan berlanjut dengan mulus bagi S
untuk bermesraan dengan dua orang, dimana satu sama lain tidak memperlihatkan
kecumburuan dan kecurigaan dan dua-duanya memberi kepuasan pada dirinya.
Setelah S dengan K memiliki anak pertama, si kakek meninggal dunia. S pada
awalnya merasa shock karena pasangan yang sangat dicintainya telah tiada dan S
kemudian mencurahkan perhatiannya kepada anak dan istrinya serta pekerjaannya sebagai
pegawai negeri. Waktu berlalu dengan cepat, sampai akhirnya S sudah
berpindah-pindah kota dan sudah menduduki jabatan penting. Suatu saat S
ditawari untuk pindah ke Jakarta dan ia tentu saja merasa sangat senang karena
dapat bekerja di pusat. Setelah berada di Jakarta S merasa senang jika mendapat
tugas mendampingi tamu bule pria untuk keliling daerah. Menurut S umumnya orang
bule senang diajak main cinta dengan dia, sehingga keinginan S untuk bertemu
idamannya yaitu laki-laki, sudah cukup tua, rambutnya putih dan klimis, apalagi
mau diajak bercinta semakin menggebu lagi. Ketika hal itu dapat dilakukan S
maka ia merasa bahagia dan merasa bergairah untuk bercinta dengan istrinya.
Selain itu hubungan S dengan istrinya tidak uring-uringan dan keduanya merasa
bahagia, walaupun keadaan S mungkin tidak diketahui oleh istrinya.
Dalam kehidupan bermasyarakat perilaku S terlihat biasa-biasa saja
namun sebagai seorang seorang ahli medis ia mendapatkan kesulitan bila menemui
pasien seperti yang diidamkannya yaitu pria cukup tua, rambut putih, penampilan
bersih dan klimis. Setiap bertemu pasien seperti itu S langsung naksir dan amat
tertarik. Kata S, secara naluri ia tahu apakah orang yang dihadapi (diperiksa)
itu mau diajak bercinta atau tidak, sehingga hal itu menyebabkan konflik,
antara tugas profesi dan dorongan nalurinya yang tidak pada tempatnya. Untuk
menjaga profesinya itu S sangat hati-hati jangan sampai rahasia dirinya
diketahui oleh para pasiennya. Dalam keadaan inilah S sering merasa terganggu
ketenangannya sehingga di rumahpun ia mudah menjadi emosional dan
uring-uringan. Keadaan seperti itu terus berlanjut sampai usianya berkepala
lima. Dorongan ingin bertemu dengan idamannya sangat kuat. Saking kuatnya
keinginan tersebut, suatu saat S mencoba mendekati waria di pinggir jalan di
sekitar sebuah taman di Jakarta pada saat waria mejeng di sana. Begitu mudah
berkenalan dengan waria bagi S, namun S menjadi terkejut dan takut karena
perilaku waria ternyata lain dengan yang di bayangkan S. Kata S waria yang ditemuinya
ternyata lebih feminin dari wanita, sehingga ia bingung bagaimana cara
merayunya untuk bercinta, sehingga S teringat pada istrinya dan spontan
meninggalkann waria tersebut.
contoh kasus di atas menggambarkan bahwa penyimpangan (deviasi)
seksual kadang-kadang memang merupakan sesuatu yang aneh. Misalnya kenapa S
menjadi bingung, obsesif, cemas hanya karena ingin ketemu untuk bercinta dengan
orang yang sudah tua dan sejenis (homo), padahal dia sudah punya anak dan
istri. kasus tersebut juga heteroseksual (punya istri) namun juga biseksual
karena dapat bercinta dengan sejenis maupun lawan jenis. Disisi lain S juga
mengeluh impotensi terhadap istri, walaupun hal itu tidak bersifat permanen,
bahkan jika setelah ketemu idamannya untuk bermain cinta, ia menjadi bergairah
lagi.
Menyikapi masalah-masalah seperti dalam contoh kasus tersebut, kita
semua dituntut untuk memiliki ketahanan mental agar tidak mudah tergoda untuk
melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya sehingga akhirnya menjadi menyimpang.
Untuk memperoleh ketahanan mental tersebut kita sudah diberikan acuan dan
pedoman berupa norma-norma agama, norma etika maupun norma sosial. Oleh sebab
itu berperilakulah yang normatif dalam arti bertingkahlaku mengikuti norma
agama, norma etika dan norma sosial yang berlaku.
No comments:
Post a Comment