Jalan Berbatu |
Hari itu benar-benar sangat cerah. Aku pun memakai baju warna merah. Pukul 09.15 menit menuju sanggar guna. Sebenarnya ada sedikit keraguan yang mendera hatiku. 5 Minggu berturut-turut tak pernah aku kesana. Tak pernah aku mengikuti kelas menulis. Libur kuliah satu bulan membuatku tidak pernah berkunjung ke Bojonegoro. Hari itu aku benar-benar beruntung karena bisa mengikuti kelas menulis seperti sebelumnya. Aku kira aku akan terlambat. Pukul 09.20 masih sangat sepi, tidak seperti dulu. Hanya ku jumpai Mas Anas yang duduk di sebuah kursi panjang yang dicat warna putih. Aku pun menjabat tangan beliau. Sedikit member senyum padanya, dan dia pun membalas dengan senyuman.
Dulu aku sering datang terlambat sa’at kelas menulis. Terlambat setengah jam sampai satu jam pun pernah aku alami. Hari itu adalah pertama kalinya aku tidak terlambat. Semua yang datang disuruh berkumpul. Ku lihat pada jam dinding berbentuk bulat itu menunjukkan pukul 10 kurang 10 menit. Tapi kenapa hanya ada
segelintir orang yang ku temui? Hanya ada seorang gadis ABG dan 3 orang laki-laki yang beranjak dewasa. Beberapa saat kemudian ada seorang laki-laki yang datang. Setelah sebulan lebih tidak mengikuti kelas menulis ternyata semakin sedikit saja anggotanya.Hari itu Mas Annas mengajak kita untuk menengok sejarah desa kita masing-masing. Aku satu-satunya manusia yang bukan dari Bojonegoro di tempat itu. Tapi bukan berarti Desaku tidak mempunyai sejarah. Meskipun begitu, aku sama sekali tidak tahu tentang sejarah desaku sendiri. “Bagaimana sejarah tentang desamu?” Aku pun tergagap dan tidak tahu harus berkata apa. Lidahku terasa kaku. Dan bingung pun mendera pikiranku. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentang sejarah desaku. Aku tak pernah bertanya pada kakekku. Aku juga tak pernah bertanya pada orang-orang tua disekeliling rumahku. Jangankan bertanya, aku bahkan tak pernah bertatap muka dengan mereka.
Pertanyaan dari Mas Anas membuatku merasa malu pada diriku sendiri. Perasaanku saat itu benar-benar campur aduk. Aku merasa seperti kacang lupa kulitnya. Menghabiskan waktu 19 tahun disana. Tapi aku sama sekali tidak peduli dengan sejarah masa lalu tempat itu.
Hari Minggu setelah mengikuti kelas menulis aku pun pulang ke Sale. Aku mampir ke rumah kakekku. Aku bertanya banyak sekali tentang masa lalu pada zaman Belanda. Kakek lahir tahun 1929, masih ada Belanda di Indonesia. Setelah selesai berbincang-bincang tentang sejarah sampai satu jam. Pamitlah aku untuk pulang.
Keesokan harinya aku sudah berencana untuk mencari tahu tentang desa Sale. Dari pagi sampai siang. Ada saja yang aku lakukan dirumah. Mendung disore hari membuat aku ragu. Sepertinya langit ingin segera meneterskan air matanya. Suara petir menyambar-nyambar tiada henti. Aku yang sudah dari tadi siap untuk pergi masih menunggu adikku untuk ganti baju. Sebenarnya adikku sudah mulai mengurungkan niatnya. Tapi aku harus pergi untuk mencari. Hanya hari ini aku ada dirumah. Dengan bujukan rayuan, adikku pun mau menemaniku.
Jalan yang rusak penuh bebatuan harus kita lalui untuk menuju kuburan Kedono-Kedini. Jam 5 sore, orang-orang yang pergi ke ladang telah berada dirumah masing-masing. Mendung menyebabkan suasana di kuburan semakin seram. Masih ditambah dengan suara petir yang menyambar-nyambar. Meskpun hujan sama sekali belum menetes. Tapi, keadaan di kuburan saat itu benar-benar sangat mencekam dan menakutkan. Aku dan adikku terus mencari kuburan yang kita cari. Tapi di setengah perjalanan. Takut melanda batinku. Karena tak satu pun orang yang ku temui. Akhirnya aku mengajak adikku untuk pulang saja.
Di tengah perajalan aku bertemu dengan guru kelas 2 SD ku dulu. Beliau bernama Bu Jumiyati. Kebetulan beliau sedang ada di depan rumah. Lalu, aku dan adikku menyalaminya. Sedikit bertanya tentang sejarah Kedono-Kedini. Ternyata Bu Jum bukan orang asli Sale. Beliau sama sekali tidak tahu tentang sejarah desa Sale. Beliau menyuruhku untuk bertanya pada Mbah Bani selaku juru kunci kuburan. Rintik-rintik air mulai membasahi pipiku yang tembem ini. Aku langsung pamit dan meninggalkan jalan yang belum beraspal. Aku sedikit berbincang dengan adikku. Bagaimana ini dek?? Aku benar-benar bingung harus kemana! Lalu aku menuju ke rumah Bu Ningsing yang juga guruku semasa masih SD. Hujan mulai turun dengan lebatnya ketika aku berada di rumah dengan lantai keramik warna putih.
Awalnya aku berbincang-bincang masalah sekolah, pekerjaan, bahkan sampai ngelantur ke masalah pacaran. Setelah setengah jam berada disana. Aku pun mulai bertanya tentang sejarah desa Sale. Ternyata hasilnya tidak terlalu memuaskan. Bu Ning menyuruhku untuk bertanya pada Pak Tom, atau seorang wartawan yang ada di desa Sale. Yang ku kenal adalah Pak Tom, kenal baik bahkan. Pak Tom adalah ayah dari sahabtku yang sekarang kuliah di UNES Semarang. Adzan magrib telah dukumandangkan para Muadzin. Aku pamit undur diri dari rumah Bu Ning.
Selesai sholat Magrib hujan terus turun tiada henti. Rintik-rintik air yang turun dari langit telah membasahi seluruh daun daun dan jalan jalan. Membuatku enggan untuk keluar dari rumah. Jam setengah delapan malam masih saja hujan. Aku nekat untuk pergi kerumah sahabatku. Bukan untuk bertemu dia, karena dia juga tak mungkin ada dirumah. Sampai dirumahnya, ku lihat ibunya memasang muka kaget ketika melihatku yang tiba-tiba datang ditengah rintik hujan yang tiada henti turun. Aku langsung bilang pada ibunya sahabatku, kalau ingin bertemu dengan Pak Tom. Ternyata Pak Tom ada dirumah. Aku benar-benar bersyukur untuk itu. Tanpa basa basi aku langsung mengatakan maksud dan tujuanku. Aku sama sekali tidak mendengarkan cerita dari beliau. Malah aku diberikan lembaran-lembaran kertas. Aku disuruh membacanya sendiri. Semuanya sudah dituliskan dalam lembaran kertas itu. Aku pun pulang tanpa membawa rekaman cerita dari pak Tom. Tapi aku membawa lembaran-lembaran kertas ukuran Legal. Sebenarnya aku ingin bertanya langsung pada Mbah Bani. Tapi kata Bu Jum tadi sore, Mbah Bani sudah mulai kehilangan pendengaran. Pak Tom pun juga mengatakan kalau pun bertanya pada Mbah Bani, itu pun hasilnya akan percuma.
Rintik hujan masih tetap menenami perjalan pulangku. Jalan yang basah membuat licin. Gelapnya malam dengan minimnya cahaya membuatku hampir menabrak seseorang yang sedang berjalan di pinggir jalan. Untung saja aku tidak terpelanting jatuh. Aku hanya sedikit deg-deg’an karena hal itu. Hampir terpeleset membuat aku memperpelan laju mio yang ku kendarai.
Sesampainya dirumah aku langsung membacanya. Selang satu jam kemudian aku mengambil laptop di meja kamarku lalu ku tulis kembali cerita itu dengan kata-kataku sendiri. Hanya satu halaman Word yang berisi ceritaku. Aku benar-benar kelelahan dan akhirnya tertidur lelap tanpa gosok gigi sebelumnya.
Pagi harinya ku cuci motor sebelum aku kembali ke Bojonegoro. Selesai sarapan dan mandi aku langsung bergegas mengajak adikku untuk pergi ke kuburan lagi. Setalah sekian lama aku gak pernah boncengan 3 akhirnya aku telah melakukannya tadi pagi. Bersama adik dan temannya adikku aku pergi ke kuburan. Pagi yang cerah, para petani pun mulai berangkat ke ladangnya masing-masing. Kuburan kedono kedini berada di tepi hutan di desa sale. Aku bertemu dengan seoarang tukang kayu yang melewati jalan kuburan. Kita memberanikan diri untuk bertanya dengan bapak-bapak paruh baya itu. Tapi bapak-bapak itu malah menyuruhku untuk bertanya pada ibu-ibu yang berjalan tepat di belakang mereka. Sepertinya bapak-bapak itu juga bukan orang asli Sale. Akhirnya aku memutar balik motorku. Aku mencari masuk dalam kuburan, namun tak ku temui kuburan kedono-kedini. Tak lama kemudian aku melihat ibu-ibu yang sedang berjalan kaki sepertinya hendak pergi ke ladang. Aku langsung menyakan kuburan Kedono-Kedini. Ternyata eh ternyta… keburan kedono kedini berada di tepat aku berhenti ketika bertanya dengan bapak-bapak tadi. Karena kuburnannya berada didalam sebuah rumah kayu menyebabkan kita tidak mengetahui keberadaannya. Kata Ibu muda itu, rumah tempat kuburan Kedono Kedini di gembok pintunya. Sedangkan kuncinya di bawa Mbah Bani atau biasa di sapa Mbah Jenggot selaku juru kunci kuburan. Aku pun hanya memotret beberapa bagian depan kuburan. Karena jika aku menemui mbah Bani, aku akan kesiangan.
Setelah memotret beberapa gambar. Aku langsung beranjak pulang. Di tengah perjalan pulang, aku menggerutu pada dua orang cewek di belakangku. Ternyata pekerjaan jadi wartawan itu susah ya. Merepotkan sekali. Dan benar-benar membutuhkan banyak pengorbanan dan perjuangan keras untuk mendatkan berita yang benar-banar akurat.
No comments:
Post a Comment