Sunday, April 1, 2012

KEDANA KEDINI

Dibalik kemegahan Istana Kerajaan Mataram. Disuatu desa terpencil di tengah hutan. Hiduplah sepasangan kakak dan adik yang selalu bersama. Dalam adat jawa sepasang saudara kembar sekandung kakak beradik di sebut Kedana-Kedini. Kakaknya bernama Hartono dan adiknya bernama Hartini.
Beranjak remaja Hartono dan Hartini berguru pada seorang kakek berilmu dan sakti. Dengan harapan memperoleh ngangsu kawruh ilmu guna kasentikan. Setiap hari mereka berlatih. Setiap hari mendapatkan hal yang baru. Setiap hari memperoleh ilmu dari kakek
Pada suatu hari, kakek meminta Hartono dan Hartini untuk makan siang bersama di tepi sungai. Permintaan kakek disambut gembira sepasang saudara kembar yang selalu bersama-sama itu. Selama makan siang tak sepatah katapun keluar dari mulut kakek. Raut wajah kakek pun tidak seperti biasanya. Hartini yang dari tadi memperhatikan kakek tidak pula mengeluarkan suara sedikit pun dari mulutnya. Hartono sangat menikmati ayam bakar di depannya dengan mentimun dan kemangi sebagai lalapan kesukaannya.
“Tumben kakek mengajak kita makan siang?” celoteh Hartono.
“Sudah lama kita belajar bersama. Kakek sudah menganggap kalian berdua seperti cucu-cucuk kakek sendiri”.
“Iya, Hartini juga menganggap kakek seperti kakekku sendiri, ” Hartini yang tadinya hanya diam saja juga ikut berbicara.
“Kakek sudah memberikan semua ilmu yang kakek punya pada kalian,” mata kakek yang bulat seperti biji buang kelangkeng itu menatap ke arah birunya langit biru yang tak berawan.
“Kakek ingin kalian pergi mengembara untuk memanfaatkan ilmu yang kalian dapat”
“Sepertinya itu menantang kek,” Hartono menyela pembicaraan.
“Kalian sudah dewasa, dan sudah saatnya kalian untuk hidup mandiri.”
“Baiklah kek, aku dan Hartini akan melakukan perjalanan menyusuri tanah jawa” Jawab Hartono tanpa ragu.
“Banyak hal baru yang akan kalian lihat. Jangan pernah berpisah! Kalian harus selalu bersama.”
“Aku akan menjaga Hartini dengan baik kek,”
“Aku percaya kalian berdua bisa menghadapi rintangan yang akan menghadang.”
Dengan membawa restu dari Kakek. Pada hari yang dirasa baik Hartono dan Hartini memulai pengembaraannya. Dengan membawa bekal secukupnya. Mereka terus berjalan tak tentu arah, mengikuti kata hati.
 Berhari-hari, berminggu-minggu, berlalu tak terasa mereka sudah melakukan perjalanan berbulan-bulan. Perjalanan yang mereka tempuh sudah sangat jauh. Ribuan hektar sawah, sungai-sungai, hutan belantara, dan ratusan pedesaan telah mereka lalui. Perjalanan panjang itu tidaklah mudah. Banyak rintangan yang harus mereka lalui. Terjalnya bukit, curamnya jurang, ancanam binatang buas selalu menghadang mereka. Mereka terus bersama menghadapi semua rintangan. Dengan segala daya upaya satu persatu rintangan berhasil di lalui.  
Lamanya perjalanan mereka berdua menyebabkan semakin menipisnya perbekalan yang dibawa. Hal itu menyebabkan Hartini mempunyai gagasan untuk mengambil sesuatu yang ditemui untuk dijadikan bekal. Ketika mereka sedang beristirahat di bawah pohon Mangga di tengah hutan. Hartono terlihat sangat kelelahan setelah berjalan seharian. Saat itu juga Hartono pun terlelap. Hartini sedang duduk diatas batu dan memikir sesuatu.
“Perbekalan sudah semakin menipis, sepertinya aku harus mencari makanan untuk bekal.” Gumam Hartini dengan suara yang rendah.
Akhirnya Hartini memutuskan untuk berkeliling hutan untuk mencari kayu bakar. Sembari mencari sesuatu untuk bekal. Hartini tidak membawa makanan yang dia temui. Dia hanya membawa biji-bijian seperti jagung, kacang tanah, kedelai, dll. Serta hewan-hewan kecil seperti belalang dan jangkrik. Hartini menyimpannya makanan itu didalam baju di perutnya. Sehingga bekal yang dibawanya langsung habis dalam dua hari saja.
Kebiasaan Hartini yang selalu mengambil barang yang ditemui sebagai bekal dilakukan ketika mereka istirahat. Karena pintarnya Hartini, membuat Hartono tidak pernah mengetahui kebiasaan adiknya tersebut. Hari demi hari mereka lalui dengan wajar dan seperti biasanya.
Rasa capek dan lelah mendera tubuh Hartono dan Hartini. Mereka memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon besar. Saat istirahat Hartono memperhatikan Hartini yang sedang kelelahan. Hartono tanpa sengaja memperhatikan perut adiknya yang membuncit. Tampak seperti orang yang sedang hamil. Sepertinya Hartini terlalu banyak membawa makanan dipakaian tepat diperutnya. Namaun, Hartono tak pernah tahu kebiasaan yang selalu adiknya lakukan itu.
Hartono semakin sering memperhatikan perut Hartini yang membuncit dan bergerak-gerak seperti layaknya wanita hamil. Hartono semakin dilanda kebingungan. Apakah mungkin kalau adiknya hamil? Kalau memang tidak hamil. Mengapa perutnya semakin membesar dan begerak-gerak sendiri.
Lama-lama Hartono merasa sangat penasaran dengan keadaan Hartini. Dia memutuskan untuk menanyakan hal itu pada adiknya. Untuk memastikan apakah Hartini benar-benar hamil atau tidak. Hartini yang tertidur pun tergagap oleh panggilan Hartono.
“Dik, apakah engkau baik-baik saja?”
“Haa… Apa kak? Tentu saja adik baik-baik saja.” Gumam Hartini.
“Kamu tidak bohong kan dik?” Hartono menambah pertanyaan.
“Tentu saja kak! Mungkin aku hanya sedikit kelelahan karena kita telah melakukan perjalanan sepanjang hari.”
“Kakak melihat ada sedikit kejanggalan pada tubuhmu dik!”
“Kejanggalan apa? Adik tidak kenapa-kenapa kak!”
“Apakah kamu hamil?” Hartono semakin mempertegas pertanyaannya.
“Ha? Hamil? Tentu saja tidak!” Hartini menjawab dengan santai. Dan Hartinipun melanjutkan tidurnya yang tadi terganggu karena pertanyaan Hartono yang menurutnya tidak jelas itu.
Hartono pun hanya terdiam mendengar jawaban dari Hartini. Sebenarnya kediamannya itu bukan karena dia percaya pada Hartini. Hartono masih saja memikirkan adiknya. Kenapa perutnya membuncit seperti itu? Dan kenapa akhir-akhir ini dia terlihat cepat lelah. Hartono semakin bimbang dan gelisah. Dia masih saja memperhatikan Hartini yang tertidur di sampingnya. Apa yang sebenarnya yang terjadi pada Hartini? Pertanyaan itu terus muncul di pikiran Hartono.
Satu jam sudah Hartini tertidur dengan pulas. Dia pun terbangun karena suara burung gagak yang hinggap didahan itu sangat keras. Dia memperhatikan Hartono yang duduk disampingnya. Kenapa kakaknya itu terlihat seperti orang bingung?
“Kakak tidak tidur?”
“Tidak!” Hartono menjawab dengan nada yang kosong dan seperti tak berarti apa-apa.
“Kakak kenapa? Apa yang sedang kakak pikirkan? Sepertinya kakak terlihat sedang bingung.”
“Kakak tidak apa-apa.” Jawabnya dengan cepat dan singkat.
“Baiklah kalau kakak tidak apa-apa. Hari sudah mulai gelap. Aku akan mencari kayu bakar.” Hartini pun berdiri dari duduknya. Dan berjalan menuju ke arah utara. Tiba-tiba terdengar suara Hartono.
“Benarkah kamu tidak hamil dik?” Kali ini suara Hartono benar-benar sangat tegas dan jelas.
Hartini pun menghentikan langkahnya. “Tentu saja Hartini tidak hamil kak. Kenapa kakak terus menanyakan hal yang sama pada Hartini? Kakak tidak percaya pada Hartini?” Sebelum mendengar jawaban dari sang kakak. Hartini pun melanjutkah langkahnya.
Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit. Bulan sabit pun seakan tersenyum pada insan yang memandangnya. “Malam ini indah ya kak?” Hartini tersenyum sambil melihat bulan yang ikut tersenyum padanya itu. Hartono tidak menjawab pertanyaan Hartini yang dirasanya tidak penting itu. Dia malah bertanya hal lain.
“Aku ingin engkau menjawab jujur dik. Sebenarnya kamu itu hamil atau tidak?”
Hartini pun mulai gusar dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh kakaknya itu.
“Kakak itu kenapa sich sebenarnya? Hartini kan sudah bilang berkali-kali. Kalau adik itu tidak hamil kak.”
“Kakak tidak percaya!” Hartono mempertegas kata-katanya itu dengan melotot pada Hartini. Seakan matanya ingin keluar.
“Mana mungkin Hartini berbohong pada kakak?” Hartini pun ikut melotot pada kembarannya itu.
“Kakak ingin kau membuktikan kata-katamu itu.” Kali ini suara Hartono lebih pelan namun tetap tegas dan jelas.
“Baiklah! Aku akan membuktikannya.” Hartini menjawab dengan sangat santai.
“Izinkan kakak menghantam perutmu dengan batu. Kalau kau tidak hamil. Maka tidak akan terjadi apa-apa dengan perutmu.”
“Silahkan saja. Hartini memang tidak hamil kok!” Jawaban yang sangat santai keluar dari bibir sang adik.
“Berdirilah kau disana. Aku akan melemparkan batu ini tepat di perutmu.” Sembari menggenggam batu, Hartono menegakkan seluruh badannya di atas tanah. Sedangkan Hartini, sudah berdiri tegak di samping api unggun yang menyala-nyala. Beberapa detik kemudian Hartono menghantamkan batu tepat di perut Hartini yang membuncit. Lalu, keluarlah semua isi yang yang ada di baju tepat di atas perutnya. Semua berceceran keluar, hewan-hewan kecil yang bergerak-gerak tepat di kaki Hartini. Sedangkan jagung dan kacang-kacangan telah tercecer-cecer di tanah. Hartini pun terkulai lemah di atas tanah. Seketika itu juga Hartini telah kehilangan nyawanya.
Hartono melihat adiknya terkapar di atas tanah dengan keadaan tidak bernyawa. Air mata berceceran di atas pipi Hartono. Dia benar-benar sangat menyesali perbuatannya.
“Adikku… Hartini… Bangunlah dik!” Sambil menangis, Hartono memeluk tubuh adiknya yang tidak bernyawa itu.
“Kakak minta maaf dik. Kakak benar-benar minta maaf karena tidak mempercayai kata-katamu. Kakak menyesal dik.” Tangisan Hartono semakin menjadi-jadi. Semalaman Hartono memeluk tubuh adiknya sambil terus menangis.
Sinar mentari kembali muncul dari peraduan. Ayam-ayam hutan mulai berkokok bersaut-sautan. Seakan ikut menyambut pagi yang sangat cerah. Semalam Hartono tidak tidur. Dia hanya menangis dan terus menangisi kepergian adiknya. Dia teringat pesan Kakek gurunya sebelum mengembara, “Kalian harus selalu bersama-sama apapun yang terjadi.” Pesan kakeknya itu pun terus terngiang di benak Hartono.
Hartono menggali lubang untuk menguburkan adiknya. Dia menggali dua lubang yang berjejer berdampingan. Setelah dia menguburkan jasat adiknya. Dia lalu bunuh diri tepat di lubang galian di samping kuburan adik yang telah di bunuhnya tadi malam.
Hartono dan Hartini meninggal pada bulan Sura, dalam tanggalan jawa tepatnya pada Rabu Pahing. Oleh Masyarakat desa Sale diberi nama Makam Kedana-Kedini yang berarti dua saudara kembar laki-laki dan perempuan. Sampai sekarang kertika datang Bulan Sura tepat pada Rabu Pahing, diadakan sebuah tradisi oleh Masyarakat setempat. Tradisi yang selalu dilakukan adalah membawa nasi tumpeng sembari berdoa bersama. Untuk menghormati, menghargai, dan mendoakan arwah Kedana-Kedini sebagai leluhur desa Sale.
Seiring dengan perkembangan zaman. Budaya selamatan masih berlangsung sampai sekarang. Selain itu, juga diadakan khataman Al-Qur’an dan yasinan pada malam hari yaitu hari Selasa malam Rabu Pahing.

2 comments:

Tukang Jengker said...

Oww ternyata Kedana-Kedini itu sebutan sepasang saudara kembar sekandung kakak beradik dalam istilah jawa .. tak kira namanya Kedana-Kedini.

Unknown said...

wong jowo ra ngerti jowone ya