“Hai… Aylla… Disini.. Disini…” Suara itu datang dari belakangku. Spontan leherku berbalik ke belakang mencari sumber suara itu. Suaranya si Anang ternyata. Langsung saja memutar balik motorku.
Sampailah aku di depan sebuah rumah dengan lantai tekel warna hitam. Didepannya tertancap pagar besi bercat putih dan kelihatan sudah tua sekali. Karena warnanya sudah tak terlalu putih dan terlihat karat disana sini.
Baru sampai di depan rumah, Dedek sudah menyambangi diriku. Dimintanya helm yang masih nangkring di kepala. Aku pun langsung turun dari motor. Dan Dedek langsung meluncur pergi entah kemana. Dia bilang “Pinjam sebentar!”
Aku pun langsung memasuki rumah. “Wah Aylla baru datang nich!” Terdengar suara celoteh salah satu penghuni rumah. Aku pun hanya tersenyum melihat mereka.
“Kalau Aylla yang kejablasen aja pada sibuk neriakin. Kalau aku yang kejablasen, dibiarin aja.” Gelegar tawa langsung timbul di rumah itu.
Di rumah ada Wahib, Anang, Dempal, Rimba, Lusiono, Reko, Agus, Aryv, Abid, Umam, dan ditambah aku sebagai penghuni baru. Mereka semua sedang bergelut dengan sebuah besi siku panjang yang bolong bolong di sisi-sisinya.
Diluar, tepatnya di parkiran rumah Mas Rimba dan Lusiono sedang sibuk memotong besi dan kayu triplek dengan sebuah gergaji. Di dalam rumah Mas Wahib, Anang, Reko, Agus, Aryv, Abid, Umam sedang membuat sebuah rangkaian meja. Rangkaian itu terbuat dari potongan-potongan besi siku bolong-bolong yang disatukan dalam rangkaian-rangkaian.
Orang sebanyak itu awalnya kebingungan untuk mengatur rangkaian supaya pas. Terjadi keributan sedikit di sana-sini. Maklum lah, mereka adalah kumpulan manusia-manusia yang belum pernah kerja menjadi tukang kayu.
Datanglah Mas Budi dan Jefri ke rumah. Langsung menyambangi meja yang penuh dengan bungkusan rokok, Ponsel, dan kopi.
“Rokoknya mana ini??” Baru saja datang langsung mencari rokok. Diambilnya sebatang rokok dari bungkusnya. Dan di bakarlah salah satu ujung rokok itu.
“Ini cewek’e mana?” Wahib sedang mencari-cari baut untuk memperkuat mur nya. Mur pasangannya dengan baut. Makanya dianggap seperti cewek dan cowok. Terlihat mur nya di sela-sela siku.
“Ini lo..!” Jawabku
Dedek datang memasuki rumah dengan membawa bungkusan warna merah.
“Ini lo jajan.” Sambil menaruh bungkusan itu di atas meja dan pergi ke ruang tengah membaur bersama teman-teman. Mas Rimba yang duduk di kursi samping meja pun langsung menyahut bungkusan itu. Lalu menaruhnya lagi setelah mengetahui isinya.
“Pasti dari kawinan ya dek.” Sambil teringat undangan yang pernah Dedek terima beberapa Minggu yang lalu.
Anang pun ikut menghampiri bungkusan itu. Membuka kardus kecil yang ada di dalamnya. Aku yang sedikit melihatnya mengira di dalamnya ada sebuah barang yang terbuat dari kaca.
Sedikit pertengkaran terjadi antara Aku dan Anang. Sampai-sampai dia bilang
“Hemm.. mau tak lempar ini?”
“Silahkan saja kalau berani!” Aku sedikit menantang.
Setelah bungkusan itu tergeletak tak tersentuh siapapun lagi. Baru aku mendekati dan duduk di kursi. Ku buka bungkusan merah yang didalamnya ada sebuah kerdus merah berbentuk segi lima. Ternyata benar, isinya terbuat dari kaca. Sebuah asbak berbentuk segi 5. Dengan 5 cekungan di pinggirnya untuk meletakkan putung rokok. Selain kardus merah ada beberapa peralatan seperti kunci dan tang.
“Padahal rencanaya aku mau membuang rokok yang ada di tempat ini. Lha kok malah disediakan asbak.” Aku menggerutu dan di dengar Mas Abid yang langsung menjawab kata-kataku.
“Lha berani kamu membuang rokok kita. Pengen di masukin dalam kamar sambil… ”
Mas Budi menambahi… “sambil ditelanjangi.”
Aku dan Mas Abid langsung memelototinya. Dan langsung sontak terdengar suara tekanan dari Mas Abid.
“Tidak! Dimasukin dalam kamar bersama Anang. Kamu itu lo pikirane yang tidak-tidak.”
Mas Abid tau, kalau aku suka beradu mulut sama Anang. Tak hanya Mas Abid, semunya juga tau kalau Aku dan Anang suka beradu mulut sampai-sampai membuat aku suka memunculkan kata-kata
“Siapa loe?”
Biar dia kapok sekalian. Dan tak kan ada jawaban dari mulutnya lagi. Dia itu kalau ngmong terlalu porno dan kadang-kadang menyakiti kupingku.
Mas Rimba berkata padaku “Lihat dech. Datang datang sendiri tanpa ada yang nyuruh. Kita kerjakan sendiri semuanya. Kita yang nyuruh, kita juga yang mengerjakannya sendiri. ”
Di ruang tengah manusia-manusia itu masih saja bergelut dengan besi dan mur bautnya. Di dalam kamar terlihat dempal memunculkan kepala dari dalam kamar sambil senyum-senyum.
“Ngapain kamu senyum-senyum gitu?” Sambil melototin Dempal. Dia hanya senyum-senyum kayak orang tanpa dosa saja. Sekilas terlihat di dalam kamar itu ada seseorang selain Dempal dan bukan salah satu dari temanku.
“Dempal lagi sama pacarnya ya?” Pertnyaanku ku tujukan untuk semua penghuni rumah.
“Iya Dempal lagi pacaran di dalam kamar.” Salah satu dari mereka member jawaban. Dan entah itu siapa.
“Dempal pacaran sama cowok tuh.” Wahib pun menambahi.
Aku semakin bingung, siapa yang ada di dalam, Cewek atau cowok? Sekilas ku lihat dia sedang tidur tengkurap dan menghadapi sebuah laptop. Rambutnya agak panjang. Yang membuatku mengira dia seorang cewek.
Pada akhirnya ku ketahui bahwa manusia itu adalah seorang cowok. Pada malam harinya dia mengirim sms padaku. Dan bilang kalau dia yang bersama Dempal tadi.
Akhirnya meja yang daritadi di pelototi sudah bisa berdiri diatas 6 kaki. Lalu Diletakkanlah papan dari kayu triplek di atasnya. Sebuah karpet hijau diletakkan di atas triplek.
“Daripada kamu duduk aja gak ngapa-ngapain mending kamu catetin pengeluaran kita nduk!” Dedek menawarkan pekerjaan padaku.
“Oke, mana catatannya?” Aku menerima dengan senang hati.
“Beli buku dulu ya”
“Buku yang kayak di warnet itu lo. Untuk pengeluaran harian.”
“Yang kayak gimana sich? Aku gak mudeng dengan yang kamu maksudkan.”
Mas Aryv mengeluarkan uang dari dompet, dan memberikannya pada Dedek. Ada uang Rp. 162.300,- dibawa Dedek. Langsung saja dia mengambil motor mioku dan aku pun mengenakan helm warna putih.
“Mana kuncinya?” Dedek bertanya padaku.
“Kunci apa?” Aku menjawab dengan terheran-heran.
“Kunci motor lah! Aku kan tadi nyuruh kamu ngambil kunci motor.” Sembari turun dari motor dan langsung masuk rumah dan mengambil kunci di meja yang berantakan di ruang tamu.
“Disitu aja lo Dek” Aku menawarkan sebuah toko buku untuk disinggahi.
“Ke Bursalino aja, sekalian beli papan.” Jawab Dedek dengan singkat.
Sampailah kita ke Permata Bursalino tempat dimana menjual berbagai macam peralatan tulis yang paling lengkap di Bojonegoro. Dan kita pun langsung menghambur memasuki toko. Memilih-milih barang-barang yang akan kita bawa pulang.
2 buah buku folio bergaris. Tape-X, 2 buah spidol, satu pak pulpen, penggaris, straples beserta isinya, penghapus papan, klip, lem kertas, dan sebuah papan tulis besar berhasil kita bawa pulang. Total belanjaan semuanya Rp. 159.500,- ditambah bayar parkir Rp. 1.000,-. Karena papan terlalu besar untuk ku bawa. Dedek menyuruhku untuk membonceng dia.
Barang-barang di dalam kresek hitang ku taruh depan. Sedangkan Dedek di belakang membawa papan tulis. Ditaruhnya papan tulis itu disampingnya dan dipegangi dengan dua buah tangan. Aku sedikit menambah gas kelajuan motor. Dedek hampir saja kebawa angin dan aku mencoba membantu sedikit memeganginya dengan sebelah tangan kiriku.
“Jangan dipegangi Nduk nanti kamu malah jadi gak seimbang nyetirnya.”
Lalu Dedek mengubah posisi letak papan menjadi diatas kita. Seperti memayungi kita berdua. Bagaikan naik motor yang beratap.
“Tadi Abid malah hampir kebawa angin pas bawa kayu triplek.” Kata Dedek di perjalanan pulang.
Aku pun mengendarai motor pelan-pelan. Untung jarak toko ke kontrakan gak terlalu jauh. Sampai di kontrakan aku disuruh Dedek mencatat semua pemasukan dari teman-teman dan pengeluaran yang telah digunakan.
Di halaman awal buku ku tuliskan dengan spidol merah dengan tulisan “Buku Bulan”. Di halaman selanjutnya ku tulisankan tabel yang isinya catatan iuran-iuran dari teman-teman. Ada 20 orang dengan iuran Rp. 300.000,- per orang.
Tulisan selanjutanya adalah pengeluaran-pengeluaran yang lain-lain. Uang muka kontrakan 1 juta rupiah. Uang belanja sykuran Rp. 250.000,-. Tapi syukurannya di undur Sabtu depan, bertepatan pada “Hari Kartini”. Ditambah dengan pengeluaran yang tadi Rp. 160.500,-. Ditambahkan juga pengeluaran untuk beli barang-barang pembuatan meja.
Selesai mencatat aku pamit pulang. Ku ucapkan “Asslamu’alaikum” pada semua penghuni rumah. Keluarlah aku dari rumah. Dempal sedang ngbrol dengan seorang laki-laki yang sepertinya tadi ada di kamar bersamanya. Laki-laki itu memang berambut gondrong seperti perempuan. Aku langsung berlalu dari kontrakan dan tidak terlalu memperhatikannya.
2 comments:
Hi follow me, check your twitter interaction
oke
Post a Comment