Pagi itu pukul setengah delapan pagi. Aku berada di
dalam kamar dan sedang menghadapi sebuah cermin. Terdengar suara teriakan para
wanita di luar. Aku tak terlalu menghiraukannya. Ketika aku dan mama melihat
dari pintu. Kita sama-sama tersentak melihat seorang nenek tua yang tergeletak
di jalan beraspal. Di sisi lain, seorang laki-laki setengah baya sedang
memunguti gelas plastik yang berserakan di tanah. Di sekitarnya ibu-ibu yang
sedang berkumpul untuk berbelanja di sibukkan dengan pemandangan yang sedang
terjadi di atas jalan beraspal.
Sebelumnya ketika aku selesai mencuci motor,
tepatnya pukul setengah 7 pagi. Aku menyempatkan diri menyapa nenek tua renta
yang sedang berdiri dan nampaknya sedang menunggu seseorang.
“Nek,
mau kemana?”
“Mengunggu, penjual sayuran disana nak, padahal belanjaannya sudah di taruh disana semua. Tapi penjualnya belum datang!” Jawab si Nenek sambil memandangi sayur-sayuran yang tergeletak di atas tanah di seberang jalan.
“Mengunggu, penjual sayuran disana nak, padahal belanjaannya sudah di taruh disana semua. Tapi penjualnya belum datang!” Jawab si Nenek sambil memandangi sayur-sayuran yang tergeletak di atas tanah di seberang jalan.
“Biasanya jam 7 penjual itu datang dari pasar nek.”
Penjelasanku semakin sok tahu. Tapi memang benar kok, mungkin jam 7 lebih
dikit.
Setengah jam kemudian terjdi tabrakan. Nampaknya,
pelaku sekaligus korban pikirannya sedang panik. Yang lebih panik itu ya para
ibu-ibu yang sedang berbelanja sayuran. Semua orang menyumbang ucapan. Entah
itu berguna atau tidak, mungkin supaya mereka di kira perhatian. Aku hanya
memandangi dari daun pintu. Sedangkan Mama berada di depan pintu. Ayahku sendiri,
memandangi sambil memegangi motor butut berwarna ungu. Waktunya ayah pergi ke
bengkel untuk berangkat kerja.
Kejadian tabrakan tidak terlihat oleh mataku. Yang
ku lihat si nenek di papah tetenggaku dan diberinya dia minum seteguk air
putih. Nenek itu memegangi kepalanya. Dari jauh tak terlihat luka di tubuhnya.
Kata orang-orang, bapak si penabrak tidak mengendarai motor dengan laju kencang.
Si Nenek yang tadinya mau nyebrang dan jadi korban tabrakan malah di salahkan
semua orang.
Salah satu tetanggaku meneriakinya. “Sudah di
bilangin, jangan keluyuran di jalan raya. Masih saja berkeliaran kesana kesini.
Tuh, jadinya. Malah membuat susah semua orang saja.”
Mama yang mendengar triakan itu juga ikut-ikutan
berteriak. “Dia itu berkeliaran kesana kesini untuk mencari makan. Orang itu
butuh makan. Jadi usahanya untuk mendapatkan sesuap nasi dilakukan di sana
sini. Kalau dia diam saja di rumah, mau kau kasih makan dia?”
Aku langsung masuk ke dalam kamar, memasukkan
barang-barang dalam tas. Sebelum pergi, aku pamit semua orang di dalam rumah,
Mama, Nenek, Kebetulan Kakekku sedang pergi entah kemana. Di perjalanan pulang
aku masih saja memikirkan nenek itu.
Nenek itu adalah tetanggaku. Aku tak tau namanya.
Dia sering kerumahku. Beradu mulut dengan mama. Hanya untuk mendapatkan seribu,
dua ribu. Kadang aku iba melihat keadaan wanita setua itu harus masih tetap
mencari sesuap nasi sendiri. Nenek itu sering menjual buah-buahan hasil dari
kebunnya. Jambu biji dan sirsak yang paling sering. Tujuan utamanya adalah
keluargaku. Kalau mama sering beradu mulut sama si nenek, itu sudah sangat
biasa. Nenek itu sering menjual buah-buah yang belum layak konsumsi.
Jambu-jambu masih mentah, sirsak yang belum cukup tua. Membuat Mama geram, dan
sering ngomel-ngomel. Meskipun tak
jarang mama tetap membeli buahnya si Nenek. Kadang mengambil seluruhnya.
Padalah tak satu buah yang bisa dimakan. Si nenek hanya mendapatkan uang dari
penjualan itu paling banyak 3 ribu.
No comments:
Post a Comment