Rujak Buah |
Sudah lama aku mendesak teman-temanku di kantor
Jengker untuk rujak’an. Mereka hanya meng’iyani tapi tak pernah ada tanggapan
yang berarti dari penghuni kantor itu. Pukul 12.30 aku pergi menjemput Dedek
yang masih ayik tertidur di atas kasur yang sama sekali tidak layak disebut
kasur. Menunggu Dedek mandi tidak terlalu lama. Tapi menunggu dia memperbaiki
sedikit masalah diwarnetnya membuat aku sangat bosan. Berkali-kali lagunya
Petra Sihombing, Cinta Takkan Kemana-mana mengalun dari HPku sedikit mengenang
seseorang.
Jam 1 aku berangkat dari warnetnya Dedek. Mas Aziz
mengirim sms padaku. “Jd rjkan gk, soale bntr lg ank2 mau ftsl”. Aku menyuruh Dedek
untuk agak cepat. Sembari mengetik balasan sms dari Mas Aziz “Ya, tp kan yo
blnja dlu.”
Sesampainya di kantornya Jengker aku ku ucapkan
salam “Assalamu’alaikum…” Langsung duduk di kursi plastik warna hijau “Mas Agus
mana?” Jawaban entah dari mana muncul “Itu lo dikamar habis mandi.”
Ada salah satu orang yang masuk ke kamarnya Mas Agus
berteriak-teriak, “Huwaaaaaa… Agus nie pake bedak kayak anak cewek, tebel
banget.” Sambil tertawa… diikuti yang lain
“Mau ngerempong bareng Anang ya??” Seluruh kantor
langsung dipenuhi gelegar tawa penghuninya.
Keluarlah mas Agus dari kamar dengan senyum
sumringah membuat kedua pipinya memerah. Seperti habis makan daging Babi.
Huhft… Kata-kata itu ditujukan Mukhsin untukku kemarin. Katanya Pipiku keliatan
memerah seperti orang Cina habis makan daging babi.
Aku langsung menarik kaos Hitam berkerah merah yang
di belakangnya bertuliskan STMIK Duta Bangsa Surakarta. “Mas,,, ayo rujak’an.”
Dengan nada memanja. Xixixixi…
“Ayo lo” sambil tersenyum padaku.
“Kita belanja dulu ya!” Pintaku dengan nada merayu..
“Ayo…”
Kunci motor ku serahkan pada Mas Agus. Segera kita
pergi ke pasar buah yang letaknya tak jauh dari kantor Jengker. Hanya beberapa
gang dari Kantor. Nampak penjual buah-buahan masih sangat ramai. Tentu saja!
Karena memang pasar Banjarejo itu terkenal dengan sebutan Pasar buah di Kota
Bojonegoro. Meskipun Giant menawarkan
berbagai harga yang cukup miring untuk buah-buahan. Tapi para penjual di pasar
itu enggan untuk beralih profesi.
Mas Agus mengajakku masuk ke dalam pasar. Masih
menaiki motor dan kita mengelilingi pasar. Mas Agus berhenti dan menyuruhku
membeli gula Getok (Gula Merah) di
salah satu toko. “Mau beli berapa mas?” Tanya ku pada Mas Agus.
“Satu atau dua sudah cukup kok” sambil memaikan
jari-jari tangannya.
“Mana cukup satu atau dua saja??” Berfikir sebentar
dan langsung ke putuskan
“Gula Getok nya
sepempat berapa bu?” dalam bahasa Jawa kromo Aku menanyakan harga pada ibu
penjual
“tiga ribu lima ratus” Si ibu penjual juga
menjawabnya dalam Jawa Kromo.
“Ya bu, seperempat kilo saja. Emm… kira-kira kurang
gak ya??”
“Buat rujak’an ya Mbak?”
“Iya bu!”
“Kalau Cuma untuk rujak’an, ini sudah bisa untuk
membuat 3 cobek sambal rujak.”
“Oh, ya sudah bu itu saja kalau begitu.”
Uang lima ribu keserahkan ke ibu, dan diberinya aku
kembalian seribu dengan uang koin lima ratus warna putih.
“Sepertinya sudah tidak ada timun atau krai lagi
mas. Penjualnya sudah pada bubar kok. Pasarnya juga sudah sepi kan?!”
“Ya seadanya saja lah.” Mas Agus menjawab dengan
sangat santai.
Kembali ku lewati para penjual buah. Ku liat
beranekaragam buah dijajakan di kios-kios yang berjejer di sepanjang jalan.
Beraneka ragam Buah jeruk, apel, semangka, melon, duku, dan mataku tertuju pada
tumpukan buah segar yang gayanya seperti “Ratu” tentunya sangat enak dibuat
rujak.
“Mas beli nanas gimana??”
Mas Agus langsung memarkirkan motor. Langsung ku
tanyakan harganya pada ibu penjualnya. “Ini berapa bu?”
Si ibu tanpa pikir panjang langsung menjawab “dua
ribu mbak!”
“tiga, 5 ribu ya bu.” Si ibu malah menunjuk pada
keranjang di sebelahnya
“Kalau ini seribu lima ratus mbak.” Aku langsung
menghampiri keranjang yang di tunjukkan si ibu.
“empat, lima ribu ya bu.” Si ibu malah tersenyum dan
member jawaban yang sudah bisa ku tebak sebelumnya
“Gak boleh mbakk.”
Mas Agus di dekatku bilang “Ini 2, dan itu 1 jadinya
pas 5 ribu kan.” Sambil menunjuk keranjang-keranjang isi buah nanas yang
berbeda-beda.
Lalu ku ambil sesuai perintah Mas Agus sambil
memilih buah yang bagus dan agak besar dari yang lain. Uang 10rb ku serahkan
pada si ibu. Dan uang 5 ribu bisa langsung ku terima dari si ibu.
Dijalan aku bilang sama mas Agus “haruse tadi
ditawar mas!”
Mas Agus hanya diam saja. Ah dasar cowok! Pasti gitu
dech. Gak suka nawar dan paling mudah di bohongi penjual. Seperti halnya ayahku
kalau beli buah. Sering ayahku di beri harga mahal bahkan juga pernah dicampuri
buah yang busuk. Penjual yang tidak jujur ataukah si pembeli yang terlalu mudah
di bodohi? Keduanya sebenarnya beda tipis.
Selanjutnya beli buah bengkuang. Kali ini aku juga
malas menawar. Satu ikat buah bengkuang berukuran tidak terlalu kecil berisi 10
buah dihargai 5 ribu rupiah. Itu memang harga wajar. Meskpipun aku sebenarnya
bisa menawar menjadi 4 ribu lima ratus atau bahkan 4 ribu saja. Uang seribu,
bahkan lima ratus dalam kegiatan berbelanja itu sangat berharga lho. Coba kamu
kalikan 500 x berapa banyak toko yang kamu hampiri. Kalau ada 10 toko. Uang 500
itu bisa jadi 5000. Terkesan pelit sebenarnya. Tapi kalau masalah berbelanja
itu sangat wajar di kalangan ibu-ibu yang biasa belanja. Jangankan 500 rupiah.
100 rupiah pun sangat berarti bagi para penjual maupun pembeli di pasar
tradisional.
Sampai di rumah aku harus menunggu anak-anak pulang
futsal dulu. Jam 2 sampai jam 4. Waktu yang cukup lama jika dilakukan untuk
menunggu. Sangat membosankan sekali. Aku hadapi notebook merah milik Wahib, dan
menonton acara Uya Kuya di TV.
Acaranya lucu banget! Menghipnotis satu kelompok
sahabat. Dan ternyata mereka mengalami masalah cinta yang menyebabkan keretakan
hubungan pada persahabatan mereka. Itu sering terjadi sebenarnya. Tapi jarang
terungkap. Sebuah persabahatan akan hancur jika sudah dicampuri masalah asmara.
Sangat benar sekali.
Jam 4 lebih orang-orang baru pada balik ke kantor.
Aku bergegas untuk sholat ashar dulu. Selesai sholat langsung ku tarik Mas Agus
dari kusrinya.
“Ayo buat rujak mass…”
“Ya, ayo donk. Ambil buahnya di depan.”
Semua bahan sudah ada di depan kita berdua. Mas Agus
mengupas kulit bengkuang dan aku pun ikut membantunya. Dia tak suruh mengupas
kulit buah sang ratu Nanas.
“Ini kalau kita Cuma berdua pegel mas, mengupas
segini banyaknya.”
Aku mengengok di ruang tengah. Lalu berteriak
“ssttt… sstt… ayo bantuin ngupas donk.”
Mas Aziz dan Wahib memandangi ku bersama-sama. Tapi
yang datang menghampiriku adalah Wahib. Sambil mengatakan “Ada apa??”
“Ayo donk bantuin aku ngupasin buah-buahan ini.”
Bukannya langsung mengambil pisau malah langsung
mencomot kupasan buah di piring..
“Eh, tanganmu kotor. Cuci tangan dulu sana! Ini lo
cuci tangan di gayung.” Ku tunjukan gayung warna pink yang berisi air bersih
untuk mencuci tangannya.
“Ayo bantuin ngupas donk!”
“ya ya” Jawaban yang sangat santai keluar dari
mulutnya.
Sudah cukup banyak buah yang terkupas. Mas Agus
mengambil segenggam cabai yang warnanya orange dan menaruhnya di cobek. Jumlah
tidak sempat ku hitung, sepertinya ada 10 buah lebih. Hadehhh,,, banyak amat
ya?
“Kok banyak amat cabe nya mas?? Aku gak pernah makan
rujak dengan cabai sebanyak itu sebelumnya.”
Mas Agus siap mengulek campuran cabai dan gula merah
di dalam cobek. Satu buah gula merah sudah lembut dalam ulekan tangan Mas Agus.
Ditambahkan sedikit air matang di ulekannya.
“Aku gak mau kalau sambalnya encer! Tambahi lagi
gulanya, pokoknya sampai sambalnya kental.” Ucapanku sambil teriak-teriak.
Aku, Mas Agus dan Wahib yang pertama-tama
mencolekkan buah-buahan di sambal dalam cobek.
“Biarin aja mas, kita puas-puasin dulu ya.”
Pernyataanku disetujui dengan anggukan Mas Agus dan
Wahib. Tiba-tiba Mas Lusiono dan Irul blak-blakan yang selesai mandi ikutan
mencomot rujak.
“Aduh,,,pedesnya… kringatku pada keluar semua nich…
huwahh… huwahhh…hah…hah…hah..”
“Oh yes … Oh yes” Mas Agus malah mengeluarkan suara
yang aneh.
Keringat bercucuran di seluruh permukaan tubuh.
Suara bibir kepedesan juga semakin menghebat.
“Huwahh… huwahhh… lidahku rasanya seperti terbakar..
hah.. hah…” Aku mulai mengeluh. Tapi tetap dalam perasaan yang pengen lagi..
dan pengen lagi. Pedes itu selalu bikin ketagihan!
Irisan buah nanasnya sudah habis. Dan orang-orang
baru pada di panggili satu dan per satu berdatangan.
“Kok Cuma tinggal bengkuang sich?? Nanasnya Mana?”
Semuanya heran kenapa tinggal bengkuang yang ada di piring. Aku hanya tersenyum
merasa tak bersalah dan malah bilang.
“Itu lo dihabisin Anang!” Padahal dari tadi Anang
tak ada bersama ku ketika membuat rujak. Meskipun hanya tinggal bengkoang.
Orang-orang itu semangat sekali menghadapi sambal rujak yang dipenuhi biji cabe
di cobek.
“Huwahhh… Hah… hah…”
Keringet bercucuran keluar dari seluruh penjuru
kulit. Makin mantab nie rujak. Kecut kecut seger ya… Campur parfum alami.
Xixixixixi…..
3 comments:
Kalau Bosan Nunguin >> di tinggal aja tu si dedexz toh dia ngak akan rugi ^_^ . kan ngak duyan rujak pedess :p
mg bermanfaat gan.
Oke makasih :D
Post a Comment