Thursday, May 3, 2012

Rujak Buah

Rujak Buah

Sudah lama aku mendesak teman-temanku di kantor Jengker untuk rujak’an. Mereka hanya meng’iyani tapi tak pernah ada tanggapan yang berarti dari penghuni kantor itu. Pukul 12.30 aku pergi menjemput Dedek yang masih ayik tertidur di atas kasur yang sama sekali tidak layak disebut kasur. Menunggu Dedek mandi tidak terlalu lama. Tapi menunggu dia memperbaiki sedikit masalah diwarnetnya membuat aku sangat bosan. Berkali-kali lagunya Petra Sihombing, Cinta Takkan Kemana-mana mengalun dari HPku sedikit mengenang seseorang.
Jam 1 aku berangkat dari warnetnya Dedek. Mas Aziz mengirim sms padaku. “Jd rjkan gk, soale bntr lg ank2 mau ftsl”. Aku menyuruh Dedek untuk agak cepat. Sembari mengetik balasan sms dari Mas Aziz “Ya, tp kan yo blnja dlu.”
Sesampainya di kantornya Jengker aku ku ucapkan salam “Assalamu’alaikum…” Langsung duduk di kursi plastik warna hijau “Mas Agus mana?” Jawaban entah dari mana muncul “Itu lo dikamar habis mandi.”
Ada salah satu orang yang masuk ke kamarnya Mas Agus berteriak-teriak, “Huwaaaaaa… Agus nie pake bedak kayak anak cewek, tebel banget.” Sambil tertawa… diikuti yang lain
“Mau ngerempong bareng Anang ya??” Seluruh kantor langsung dipenuhi gelegar tawa penghuninya.
Keluarlah mas Agus dari kamar dengan senyum sumringah membuat kedua pipinya memerah. Seperti habis makan daging Babi. Huhft… Kata-kata itu ditujukan Mukhsin untukku kemarin. Katanya Pipiku keliatan memerah seperti orang Cina habis makan daging babi.
Aku langsung menarik kaos Hitam berkerah merah yang di belakangnya bertuliskan STMIK Duta Bangsa Surakarta. “Mas,,, ayo rujak’an.” Dengan nada memanja. Xixixixi…
“Ayo lo” sambil tersenyum padaku.
“Kita belanja dulu ya!” Pintaku dengan nada merayu..
“Ayo…”
Kunci motor ku serahkan pada Mas Agus. Segera kita pergi ke pasar buah yang letaknya tak jauh dari kantor Jengker. Hanya beberapa gang dari Kantor. Nampak penjual buah-buahan masih sangat ramai. Tentu saja! Karena memang pasar Banjarejo itu terkenal dengan sebutan Pasar buah di Kota Bojonegoro. Meskipun Giant menawarkan berbagai harga yang cukup miring untuk buah-buahan. Tapi para penjual di pasar itu enggan untuk beralih profesi.
Mas Agus mengajakku masuk ke dalam pasar. Masih menaiki motor dan kita mengelilingi pasar. Mas Agus berhenti dan menyuruhku membeli gula Getok (Gula Merah) di salah satu toko. “Mau beli berapa mas?” Tanya ku pada Mas Agus.
“Satu atau dua sudah cukup kok” sambil memaikan jari-jari tangannya.
“Mana cukup satu atau dua saja??” Berfikir sebentar dan langsung ke putuskan
“Gula Getok nya sepempat berapa bu?” dalam bahasa Jawa kromo Aku menanyakan harga pada ibu penjual
“tiga ribu lima ratus” Si ibu penjual juga menjawabnya dalam Jawa Kromo.
“Ya bu, seperempat kilo saja. Emm… kira-kira kurang gak ya??”
“Buat rujak’an ya Mbak?”
“Iya bu!”
“Kalau Cuma untuk rujak’an, ini sudah bisa untuk membuat 3 cobek sambal rujak.”
“Oh, ya sudah bu itu saja kalau begitu.”
Uang lima ribu keserahkan ke ibu, dan diberinya aku kembalian seribu dengan uang koin lima ratus warna putih.
“Sepertinya sudah tidak ada timun atau krai lagi mas. Penjualnya sudah pada bubar kok. Pasarnya juga sudah sepi kan?!”
“Ya seadanya saja lah.” Mas Agus menjawab dengan sangat santai.
Kembali ku lewati para penjual buah. Ku liat beranekaragam buah dijajakan di kios-kios yang berjejer di sepanjang jalan. Beraneka ragam Buah jeruk, apel, semangka, melon, duku, dan mataku tertuju pada tumpukan buah segar yang gayanya seperti “Ratu” tentunya sangat enak dibuat rujak.
“Mas beli nanas gimana??”
Mas Agus langsung memarkirkan motor. Langsung ku tanyakan harganya pada ibu penjualnya. “Ini berapa bu?”
Si ibu tanpa pikir panjang langsung menjawab “dua ribu mbak!”
“tiga, 5 ribu ya bu.” Si ibu malah menunjuk pada keranjang di sebelahnya
“Kalau ini seribu lima ratus mbak.” Aku langsung menghampiri keranjang yang di tunjukkan si ibu.
“empat, lima ribu ya bu.” Si ibu malah tersenyum dan member jawaban yang sudah bisa ku tebak sebelumnya
“Gak boleh mbakk.”
Mas Agus di dekatku bilang “Ini 2, dan itu 1 jadinya pas 5 ribu kan.” Sambil menunjuk keranjang-keranjang isi buah nanas yang berbeda-beda.
Lalu ku ambil sesuai perintah Mas Agus sambil memilih buah yang bagus dan agak besar dari yang lain. Uang 10rb ku serahkan pada si ibu. Dan uang 5 ribu bisa langsung ku terima dari si ibu.
Dijalan aku bilang sama mas Agus “haruse tadi ditawar mas!”
Mas Agus hanya diam saja. Ah dasar cowok! Pasti gitu dech. Gak suka nawar dan paling mudah di bohongi penjual. Seperti halnya ayahku kalau beli buah. Sering ayahku di beri harga mahal bahkan juga pernah dicampuri buah yang busuk. Penjual yang tidak jujur ataukah si pembeli yang terlalu mudah di bodohi? Keduanya sebenarnya beda tipis.
Selanjutnya beli buah bengkuang. Kali ini aku juga malas menawar. Satu ikat buah bengkuang berukuran tidak terlalu kecil berisi 10 buah dihargai 5 ribu rupiah. Itu memang harga wajar. Meskpipun aku sebenarnya bisa menawar menjadi 4 ribu lima ratus atau bahkan 4 ribu saja. Uang seribu, bahkan lima ratus dalam kegiatan berbelanja itu sangat berharga lho. Coba kamu kalikan 500 x berapa banyak toko yang kamu hampiri. Kalau ada 10 toko. Uang 500 itu bisa jadi 5000. Terkesan pelit sebenarnya. Tapi kalau masalah berbelanja itu sangat wajar di kalangan ibu-ibu yang biasa belanja. Jangankan 500 rupiah. 100 rupiah pun sangat berarti bagi para penjual maupun pembeli di pasar tradisional.
Sampai di rumah aku harus menunggu anak-anak pulang futsal dulu. Jam 2 sampai jam 4. Waktu yang cukup lama jika dilakukan untuk menunggu. Sangat membosankan sekali. Aku hadapi notebook merah milik Wahib, dan menonton acara Uya Kuya di TV.
Acaranya lucu banget! Menghipnotis satu kelompok sahabat. Dan ternyata mereka mengalami masalah cinta yang menyebabkan keretakan hubungan pada persahabatan mereka. Itu sering terjadi sebenarnya. Tapi jarang terungkap. Sebuah persabahatan akan hancur jika sudah dicampuri masalah asmara. Sangat benar sekali.
Jam 4 lebih orang-orang baru pada balik ke kantor. Aku bergegas untuk sholat ashar dulu. Selesai sholat langsung ku tarik Mas Agus dari kusrinya.
“Ayo buat rujak mass…”
“Ya, ayo donk. Ambil buahnya di depan.”
Semua bahan sudah ada di depan kita berdua. Mas Agus mengupas kulit bengkuang dan aku pun ikut membantunya. Dia tak suruh mengupas kulit buah sang ratu Nanas.
“Ini kalau kita Cuma berdua pegel mas, mengupas segini banyaknya.”
Aku mengengok di ruang tengah. Lalu berteriak “ssttt… sstt… ayo bantuin ngupas donk.”
Mas Aziz dan Wahib memandangi ku bersama-sama. Tapi yang datang menghampiriku adalah Wahib. Sambil mengatakan “Ada apa??”
“Ayo donk bantuin aku ngupasin buah-buahan ini.”
Bukannya langsung mengambil pisau malah langsung mencomot kupasan buah di piring..
“Eh, tanganmu kotor. Cuci tangan dulu sana! Ini lo cuci tangan di gayung.” Ku tunjukan gayung warna pink yang berisi air bersih untuk mencuci tangannya.
“Ayo bantuin ngupas donk!”
“ya ya” Jawaban yang sangat santai keluar dari mulutnya.
Sudah cukup banyak buah yang terkupas. Mas Agus mengambil segenggam cabai yang warnanya orange dan menaruhnya di cobek. Jumlah tidak sempat ku hitung, sepertinya ada 10 buah lebih. Hadehhh,,, banyak amat ya?
“Kok banyak amat cabe nya mas?? Aku gak pernah makan rujak dengan cabai sebanyak itu sebelumnya.”
Mas Agus siap mengulek campuran cabai dan gula merah di dalam cobek. Satu buah gula merah sudah lembut dalam ulekan tangan Mas Agus. Ditambahkan sedikit air matang di ulekannya.
“Aku gak mau kalau sambalnya encer! Tambahi lagi gulanya, pokoknya sampai sambalnya kental.” Ucapanku sambil teriak-teriak.
Aku, Mas Agus dan Wahib yang pertama-tama mencolekkan buah-buahan di sambal dalam cobek.
“Biarin aja mas, kita puas-puasin dulu ya.”
Pernyataanku disetujui dengan anggukan Mas Agus dan Wahib. Tiba-tiba Mas Lusiono dan Irul blak-blakan yang selesai mandi ikutan mencomot rujak.
“Aduh,,,pedesnya… kringatku pada keluar semua nich… huwahh… huwahhh…hah…hah…hah..”
“Oh yes … Oh yes” Mas Agus malah mengeluarkan suara yang aneh.
Keringat bercucuran di seluruh permukaan tubuh. Suara bibir kepedesan juga semakin menghebat.
“Huwahh… huwahhh… lidahku rasanya seperti terbakar.. hah.. hah…” Aku mulai mengeluh. Tapi tetap dalam perasaan yang pengen lagi.. dan pengen lagi. Pedes itu selalu bikin ketagihan!
Irisan buah nanasnya sudah habis. Dan orang-orang baru pada di panggili satu dan per satu berdatangan.
“Kok Cuma tinggal bengkuang sich?? Nanasnya Mana?” Semuanya heran kenapa tinggal bengkuang yang ada di piring. Aku hanya tersenyum merasa tak bersalah dan malah bilang.
“Itu lo dihabisin Anang!” Padahal dari tadi Anang tak ada bersama ku ketika membuat rujak. Meskipun hanya tinggal bengkoang. Orang-orang itu semangat sekali menghadapi sambal rujak yang dipenuhi biji cabe di cobek.
“Huwahhh… Hah… hah…”
Keringet bercucuran keluar dari seluruh penjuru kulit. Makin mantab nie rujak. Kecut kecut seger ya… Campur parfum alami. Xixixixixi…..

3 comments:

Tukang Jengker said...

Kalau Bosan Nunguin >> di tinggal aja tu si dedexz toh dia ngak akan rugi ^_^ . kan ngak duyan rujak pedess :p

Toko Online Ramuan Madura said...

mg bermanfaat gan.

Unknown said...

Oke makasih :D