Wednesday, April 2, 2014

MANYURA Mengoyak Hutan Kesucian Pandawa



Melalui novel berjudul Manyura Yanusa Nugroho melakuakan lelono yang agak memiriskan; dia mencoba mengoyak-ngoyak “hutan kesucian” para Pandawa

Kedekatan Yanusa dengan wayang terjalin semenjak ia kecil. Menariknya, Yanusa juga mengamati ada titik terang dalam kesenian tradisi. Kegembiraan yang muncul ketika sejumlah komikus sempat berdiskusi dengannya dan menunjukkan ketertarikan untuk membuat komik terkait dengan tradisi wayang. Dari diskusi itu, terkuak komikus lokal mulai jenuh dengan tradisi luar yang menguasai. Lewat pengalaman diskusi dengan komikus itulah, Yanusa seperti ingin menyampaikan jika kesenian tradisi itu klop dengan unsur kekinian

“Budaya bisa berkembang terus. Jika ada banyak budaya mati, itu karena tidak mau berkomunikasi dengan budaya kini,” jelas Yanusa. Unsur kekinian itu juga dapat diselipkan dalam pertunjukan tradisi, seperti wayang. Hanya saja agar pengajaran moral yang terkandung dalam pertunjukan wayang tidak terdistorsi, penyesuaian dapat dilakukan lewat tema dan penggarapannya.

Kesukaan Yanusa terhadap wayang memang banyak ditumpahkan dalam dunia sastra. Ia sudah aktif, bahkan semenjak lulusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia (UI) itu masih sibuk bekerja sebagai copywriter di sebuah biro iklan sampai 1998. Sejumlah buku kumpulan cerpen, seperti Bulan Bugil Bulat (1989), serta Cerita di Daun Tal dan Menggenggam Petir (1990-an), dibuatnya. Ada juga Kuda Kayu Bersayap (2004) dan Tamu dari Paris (2005). Sementara untuk novel, selain Boma dan Manyura, ada juga Di Batas Angin.

Dalam konteks pewayangan, kehadiran Yanusa Nugroho lewat novelnya ini menjadi menarik. Melalui novel berjudul Manyura ia melakuakan lelono yang agak memiriskan; dia mencoba mengoyak-ngoyak “hutan kesucian” para Pandawa. Dia mengacak-acak “sakralitas” pemahaman kekuasaan, dengan menggambarkan Prabu Yudhistira yang pada dunia wayang dilukiskan sebagai penguasa santun, jujur, tidak suka berbohong,

manjadi sosok yang ternyata sudah “badar” dari laku asketisnya. Dalam novel ini, kita dihadapkan dengan Prabu Yudhistira yang fasis, tidak acuh pada penderitaan rakyat, orientasi hidupnya hanya pada kekuasaan, yang dengan pembawaan diam dank eras kepalanya malah mengingatkan orang pada seorang tokoh nomor satu di negeri ini…

Manyura

Yanusa Nugroho

Penerbit Buku Kompas, Januari 2004

PT Kompas Media Nusantara

Cetakan I, Jakarta 2004

xiv+256 Halaman

No comments: