Wednesday, April 2, 2014

Max Havelaar Selalu Hidup Di Indonesia



Sampul Pertama Kali Max Havelaar
Max Havelaar adalah sebuah novel karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker. Seorang kebangsaan Belanda. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1860, yang diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru.

Novel ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" (bahasa Indonesia: "Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda")

Multatuli menulis Roman ini selama sebulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1860 roman itu terbit untuk pertama kalinya. Di Indonesia, karya ini sangat dihargai karena untuk pertama kalinya inilah karya yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten. Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.


Hermann Hesse dalam bukunya berjudul: Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya. Bahkan Max Havelaar sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda.

HB Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa Belanda aslinya ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1972. Tahun 1973 buku tersebut dicetak ulang. Pada tahun 1973 Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard. Dia diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.

Menurut H. B. Jassin, buku ini dijadikan salah satu sumber ilham oleh para perintis kemerdekaan Indonesia, antara lain Soekarno, Moh. Yamin, dan Husni Thamrin. Memang, dalam buku bacaan sekolah menengah di zaman Belanda, pidato Havelaar di Lebak dicantumkan. Sebuah pidato yang menjanjikan pembelaan terhadap si tertindas, “Sekali lagi saya minta Tuan-Tuan menganggap saya sebagai sahabat, yang akan membantu Tuan-Tuan di mana dapat, terutama di mana ketidakadilan harus diberantas.

Novel ini diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar pada tahun 1976 oleh Fons Rademakers sebagai bagian dari kemitraan antara Belanda-Indonesia. Namun filmMax Havelaar tersebut tidak diperbolehkan untuk ditayangkan di Indonesia sampai tahun 1987.

No comments: