Sampul Pertama Kali Max Havelaar |
Max Havelaar adalah sebuah novel karya Multatuli atau Eduard Douwes
Dekker. Seorang kebangsaan Belanda. Novel ini pertama kali terbit pada tahun
1860, yang diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena
memelopori gaya tulisan baru.
Novel ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli "Max
Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij"
(bahasa Indonesia: "Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang
Belanda")
Multatuli menulis Roman ini selama sebulan pada tahun 1859 di
sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1860 roman itu
terbit untuk pertama kalinya. Di Indonesia, karya ini sangat dihargai karena untuk pertama
kalinya inilah karya yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk
rakyat yang dijajah. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang
menindas kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten. Max Havelaar adalah karya
besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Di salah satu
bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati
pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di
panggung.
Hermann Hesse dalam bukunya berjudul: Die Welt Bibliothek
(Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang
sangat dikaguminya. Bahkan Max Havelaar sekarang menjadi bacaan wajib di
sekolah-sekolah di Belanda.
HB Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa Belanda aslinya ke
dalam bahasa Indonesia pada tahun 1972. Tahun 1973 buku tersebut dicetak ulang. Pada tahun 1973 Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins
Bernhard. Dia diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.
Menurut H. B. Jassin, buku ini dijadikan salah satu sumber ilham
oleh para perintis kemerdekaan Indonesia, antara lain Soekarno, Moh. Yamin, dan
Husni Thamrin. Memang, dalam buku bacaan sekolah menengah di zaman Belanda,
pidato Havelaar di Lebak dicantumkan. Sebuah pidato yang menjanjikan pembelaan
terhadap si tertindas, “Sekali lagi saya minta Tuan-Tuan menganggap saya
sebagai sahabat, yang akan membantu Tuan-Tuan di mana dapat, terutama di mana
ketidakadilan harus diberantas.
Novel ini diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar pada tahun
1976 oleh Fons Rademakers sebagai bagian dari kemitraan antara
Belanda-Indonesia. Namun filmMax Havelaar tersebut tidak diperbolehkan untuk
ditayangkan di Indonesia sampai tahun 1987.
No comments:
Post a Comment